Desember 30, 2008

Dia

Alisnya tebal, lurus segaris
Dan matanya tajam
Menyorotkan keberanian menantang hidup

Tangan dan kakinya
Kekar, kuat
Menggambarkan hidupnya yang s’lalu dipenuh perjuangan

Hatinya yang sekeras batu karang
Menjadi sangat goyah
Ketika ketidakpastian hidup menghadang

Punggungnya bungkuk
Membuat orang tau
Bahwa ia adalah tulang punggung harapan keluarga

Cintanya…
Tulus mengalir
Seringan mata air membasahi bumi
Dalam…
Sekuat akar pohon beringin tertua
Mengambil mineral cinta murni
Dari dasar hatinya

Tanpa banyak pikir
Tanpa banyak pertimbangan
Dia lakukan apa yang menurutnya benar

Dia bukan anak emas berbudi luhur kesayangan Ayahnya
Dia juga bukan orang spesial yang selalu mendapat perhatian

Dia…
S’elalu menatap ke depan
‘tak banyak peduli pada perasaanya
Yang memang ‘tak pernah dipedulikan orang

Dia jalani hidup tanpa beban
Walau telah membuatnya bungkuk

Dia pasrahkan nasibnya mengalir
Mengikuti relief dataran sungai yang teramat terjal
Bersama air alam sebening imannya
Menuju muara keabadian

This poerty is dedicated to someone in my hearth, happy birthday

Oktober 20, 2008

Kekuatan dari "Yang Terakhir"

Hidup ini seperti air
Terus mengalir


Menuju sebuah muara
Titik terakhir


Seperti manusia
Berjalan ke tujuan akhirnya


Tujuan yang tak dibuat sembarangan


Membutuhkan prinsip,
usaha keras,
do'a,
dan yang terakhir
tawakal
untuk meraihnya


Adakah yang menyadari?


Dengan tawakal
Kita ikhlas

Ikhlas atas semua yang telah Kita korbankan demi mencapai tujuan
Ikhlas demi bersyukur untuk segala takdir-Nya
Ikhlas berlandaskan keyakinan bahwa
Hanya Dialah Yang Maha Memberi dan Yang Maha Tau yang terbaik untuk hamba - hamba-Nya


Dengan tawakal
Kita tak kan jadi penyombong

Penyombong yang tak bersyukur karena merasa telah bekerja keras
Penyombong yang lupa bahwa ini semua hanyalah titipan-Nya


Dan dengan tawakal
Kita kembali ke hakikat islam




Berserah diri pada-Nya

WAKTU

Waktu begitu cepat berlalu. Tak pernah pandang bulu apa pun yang sedang kita kerjakan. Ketika waktu berkata sudah, maka kita harus berhenti.


Seiring dewasa, waktu semakin kejam. Membantai tubuh dan pikiranku. Tak ada toleransi darinya, sampai-sampai sering kali aku harus hutang tidur. Hanya demi tepat waktu.


Dulu..........
Rasanya waktu milikku. Aku bisa menguasainya sesuka hati. Bermain,.. tidur,.. belajar,.. semua beres dengan sisa wkatu yang masih lebih dari cukup untukku dapat bercengkrama dengan orang-orang tersayang. Walau hanya membicarakan hal yang sepele tapi aku benar-benar menikmati saat-saat itu.


Aku tak mau membohongi diri-sendiri, aku sungguh-sungguh merindukan kebersamaan itu. Aku tak ingin hanya demi tepat waktu, aku harus kehilangan diriku. Sebagai kakak yang baik, anak yang berbakti pada orang tua, siswa yang rajin dan muslimah yang disiplin beribadah. Dan sudah pasti bahwa itu semua belumlah terwujud sepenuhnya.


Kini kebersamaan itu menjadi sangat mahal. Ketika bertemu sekali waktu, rasanya……sehari = dua puluh empat jam masih kurang jika dalam seharian itu kuhabiskan waktu bersama orang-orang tersayang. Begitu banyak hal yang kini tersembunyi. Yang baru saja jusadari bahwa itu semua adalah pertanda dari kedewasaan kami. Keterbukaan pun harus diatur sedemikian rupa untuk dapat diterima dengan lapang. Demi menjaga keharmonisan hubungan.


Tapi hidup bukanlah untuk disesali. Seperti kata Dewa, manusia pasti bisa mengambil hikmah. Dan dari itu, aku bersyukur. Telah kukecap pahit manisnya perjalanan waktu. Meski kusadari, itu semua belumlah cukup bagiku mengambil pelajarannya untuk menghadapi hari esok, tapi paling tidak ..... waktu telah membuka mataku untuk selalu mengharagainya.


Setiap detik yang kuhabiskan, aku tak ingin membuatnya tak berguna. Setiap kedipan mataku, aku pasti akan kehilangan semua yang kulihat di dunia ini. Yang tak ingin kulewatkan sedikit pun namun malah terlewat terlalu banyak. Setiap hembusan nafasku, aku syukuri berjuta nikmat yang telah Ia berikan padaku.


Meski aku harus hutang tidur, aku bahagia. Syukurku tak henti-hentinya mengalir dari kalbu yang mendambakan kesucian ini. Syukur yang kuiringi harapan, hutang-hutangku itu tidak mengurangi sedikit pun ibadah, belajar, & kewajiban-kewajiban lainnya.


Mungkin waktu bukanlah hal yang istimewa. Namun tanpa waktu, manusia pasti akan kebingungan mengatur kegiatannya. Apalagi bagi para muslim yang diwajibkan mendirikan sholat fardhu sebagai tiang agama. Walaupun alam bisa memberi tanda, namun alam kini telah berubah. Unpredictable!


Huhhhh... Jika saja aku bisa bercakap dengan waktu......


Wahai waktu, tidakkah kau lihat? Begitu banyak korabanmu di sana? Akankah kau turunkan kecepatanmu hanya untuk membantu membuka mata dan menyadarkan mereka, bahwa bukanlah kau yang membunuh mereka. Melainkan mereka sendiri, yang lupa..... mengapa dan untuk apa mereka ada.


Bahkan apa yang harus mereka lakukan di sini, di dunia yang hanya sementara ini.... Coba tanyakan pada mereka, wahai waktu! Apakah mereka tau? Apakah mereka benar-benar tau???

Juli 01, 2008

Untukmu Sahabat.... (part II)

Sahabat....
Aku sadar, hanya bisa memberi sedikit untukmu. Sebisa & sesanggupku, aku hadir di setiap suka dukamu. Aku berusaha sepenuh hati 'tuk tunjukkan bahwa kehadiranmu benar-benar dibutuhkan dunia. Peranmu tak kalah besar dibanding besarnya manfaat sinar mentari. Aku berusaha selalu membuatmu tersenyum seindah bulan sabit yang damai dipandang mata. Kubantu kau berdiri kuat setegar batu karang menghadapi pahit manisnya kehidupan. Dan satu lagi pemberian dariku yang terlalu sederhana,

"Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih & Maha Penyayang. Tuhan Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana. Lindungilah sahabat-sahabatku, ya Allah... Limpahkanlah rahmat & hidayahMu dalam kehidupan mereka. Kabulkanlah setiap do'a, harapan, dan impian mereka. Ampuni segala dosa mereka, wahai Tuhan Yang Maha Pengampun. Hanya Engkau Dzat Yang dapat memberi ampunan bagi hamba-hamba yang tak berdaya seperti kami ini, ya Allah... Jadikanlah kami termasuk dalam ahli surgaMu & pertemukanlah kami di sana dengan ridloMu, Tuhan Yang Maha Pemurah. Hanya padaMu kami menyembah & hanya padaMu kami mohon pertolongan. Kabulkanlah do'a hambaMu, amin ya rabbal'alamiin..."

tak ada lagi kepunyaanku untukmu yang berharga, sahabatku. Kuharap kita selalu bersama walau hanya dalam hati.

Untukmu Sahabat...

Di hidupku sahabat memegang andil dalam setiap langkah yang kuambil. Karena sahabat adalah pergaulanku. Entah langkah yang hanya sekedar ikut―ikutan atau langkah yang benar―sudah kupertimbangkan sematang―matangnya. Paling tidak sahabat seringkali memberiku secuil informasi, tapi bagiku itu sangat berharga.

Aneh kurasa, seringkali aku bertemu sahabat yang menurutku bukan benar―benar sahabat. Aku tak tau kenapa, tapi sikapnya padaku tak mencerminkan sikap seorang sahabat. Mungkin pikiranku sungguh terlalu negatif untuk mereka tapi aku tetap tak bisa menganggap mereka sahabat, walau mereka juga pernah hidup dalam kenanganku, berperan di hari―hariku, dan pernah menduduki tahta persepsi sahabat di pikiranku.

Lebih dari satu kali aku kehilangan sahabatku. Menyedihkan, sungguh sangat menyiksa. Apalagi ketika mereka enggan mengatakan kelalaianku yang membuat mereka pergi. Bukankah sudah selaknya sahabat saling mengingatkan?? Rasanya aku tak mau keluar dari sangkarku, aku tak berguna. Semua kulakukan tanpa tujuan yang jelas. Hanya dengan sisa energi yang membantu bakat tertinggalku, bukan dengan sepenuh hati. Aku bahkan tak tahu harus melakukan apa di hadapan mereka yang pergi, dari persepsi sahabat di mataku.

Di balik semua itu, aku mencoba bersabar & bersyukur. Bersyukur untuk pengalaman yang pelajarannya tak 'kan pernah tergantikan. Bersyukur karena aku memutuskan bahwa itu semua kusebut kehilangan sahabat, yang mungkin di mata orang lain adalah benar―benar murni kesalahanku & bukan salah kepergian sahabatku.

Setelah semua berlalu, aku memendam harapan yang dalam akan pertemuan dengan sahabat. Sahabat yang menerima aku apa adanya. Sahabat yang satu pikiran & saling menguatkan. Sahabat yang bersama―sama dengannya mimpiku tak lagi maya, dan asaku menjadi nyata. Sahabat yang kujadikan tempat berkeluh ketika keluarga sekalipun tak mengerti aku. Sahabat yang membuatku berarti tanpa harus kuingkari bahwa berarti atau tidaknya diriku tergantung pada bagaimana aku mengartikan diriku.

Sahabat....
Bukan main―main perkataanmu.

Tak cukup rasanya kuberikan intan permata, batu berlian, atau bahkan bongkahan emas sebagai penghargaan atas kehadiranmu. Andai aku bisa, kan kupelukkan gunung, kubawakan pulang bintang―bintang, kucapaikan cakrawala hanya untukmu. Tapi tak 'kan mampu diri yang hina & tak berdaya ini.

Juni 28, 2008

Sahabat, Selalu Ada.

Bagiku sahabat adalah berkah.
Berkah yang mewarnai hidupku karena wataknya.
Berkah yang mengubah hidupku menjadi lebih bergairah dengan sejuta teriakannya, penuh semangat.

Sahabat memang bukan saudara, tapi lebih dari sekedar saudara. Karena dia selalu berusaha mengerti & memberi apa yang kubutuhkan. Karena tersirat dalam setiap perkataanya, menginginkan yang terbaik untukku. Dan semua itu ia lakukan tanpa ingin aku tahu bagaimana keadaannya.

Ikatan hati sahabat melebihi saudara ketika mereka sadar bahwa sahabat, bukan saudara. Sahabat adalah seseorang yang selalu berusaha untuk dapat menerima kita apa adanya. Bahkan sahabat, mampu berkorban demi membantu kita menjadi lebih baik & lebih sempurna.

Sahabat...
Adalah kebahagiaan.
Kebahagiaan dalam setiap langkah untuk berbagi dan juga memahami.
Kebahagiaan yang tak 'kan sanggup kugambarkan dengan apa pun ketika melihatnya bahagia, berhasil menggapai impian.

Sahabatlah seseorang yang membuka mataku, menyadarkan pikiranku, dan meluruskan kembali hatiku.
Sahabat, melengkapi kekuranganku, menopang pincangku, dan selalu mengisi kekosonganku.

Dan sahabat,
kusadari sepenuhnya kau bukan duniaku. Aku tak tahu, tak sadar mengapa aku sering memasukinya. Dan dengan kadar ketidaktahuan yang sama, entah mengapa setelah itu aku selalu terhempas jatuh, ke dasar jurang kebingungan. Seakan-akan aku kehilangan diriku dan tersesat dalam kusutnya pikiranku.
Semua itu seperti menjadi batas ketika aku bersamamu.

Sebenarnya sakit terasa, ketika harus kuketahui bahwa ternyata mau atau tak mau, sadar atau tak sadar terdapat batas di antara kita.

Namun,
sekarang kumengerti. Batas itu bukanlah untuk dirasakan rasa sakitnya. Batas itu, berubah menjadi ketabahan, keteguhan & keyakinan hatiku. Sudah pasti pula jika batas itu juga menjelma menjadi sebagian dari kebahagiaanku. Batas itu, menjadi rindu. Rinduku akan setiap waktuku bersamamu. Riduku dengan kekuatan dan kobaran api semangatmu.

Akhirnya rindu itu pun membuatku yakin, dan lebih yakin lagi bahkan semakin mantap untuk menapakkan kakiku di jalan yang kupilih. Rindu itu mengingatkanku bahwa aku adalah manusia seutuhnya, dengan beribu kelebihan dan berjuta kekurangan. Rindu itu menguatkanku untuk melangkah menerjang badai, memecah ombak. Karena aku tahu kau selalu ada, di sana mendukungku.

Juni 27, 2008

SAHABAT… SAHABAT… DAN SAHABAT…

Sahabat itu adalah suatu keberuntungan. Keberuntungan karena kamu memilikinya bukan kerena keinginanmu. Tetapi kerena kalian memang ditakdirkan bersatu untuk saling mengisi, saling melengkapi, dan saling memperbaiki satu sama lain.

Sahabat itu adalah suatu kebebasan. Kebebasan karena kalian bersama tetapi tak selalu bersama. Kamu punya dunia kamu sendiri ketika kamu harus berjalan tanpa sahabat. Kamu bisa merajai dunia kamu sesuka hati kamu.

Sahabat itu adalah suatu kebersamaan. Kebersamaan atas dasar rasa saling memiliki. Kebersamaan meski tidak sedang bertatap muka. Tapi ingatlah pancaran sinar matanya ketika dia menyertaimu dalam kebahagiaanmu. Ingat pancaran sinar matanya ketika dia menghapus air matamu saat kamu merasakan duka.

Sahabat itu adalah sebuah do’a. Satu harapannya adalah harapan agar kau mendapatkan yang terbaik untukmu. Harapannya ada dalam setiap senyum, canda, dan tawa ketika dia bersamamu.

Sahabat itu adalah seperti rumah. Yang akan setia melindingimu dan tak pernah akan membiarkan sesuatu melukaimu. Dia akan memberi satu kata yang bisa menepis ragumu. Dia yang akan memberimu tempat untuk kamu mendapatkan ketenangan, kenyamanan, dan kedamaian.

Sahabat itu seperti induk burung pipit. Dia akan memberikan sesuatu yang kamu inginkan. Meskipun sebenarnya ia sangat membutuhkannya, jauh lebih membutuhkannya daripada kamu.

Sahabat itu seperti air. Yang akan terus mengalir untuk menghidupkan semua yang ada di sekitarnya. Seperti air yang akan melepaskanmu dari kehausan. Dia akan mencoba memberimu sedikit kesejukan ketika kamu merasa rapuh.

Sahabat sejati adalah sosok yang selalu mencoba untuk tetap tersenyum didepanmu ketika kamu merasakan kebahagiaanmu. Sahabat sejati tak akan pernah bisa meneteskan air matanya di depanmu karena dia tak ingin merusak kebahagiaanmu. Meski sebenarnya sahabat itu adalah tempat untuk berbagi dalam suka maupun duka.

Sahabat kadang menjadi sangat labil. Dia akan merasa tak berdaya ketika kamu tak ada di dekatnya. Karena kamulah yang akan membuatnya memperoleh semangat baru.

Sahabat kadang selalu mengalah untukmu. Dia akan membiarkanmu bahkan memberimu dorongan untuk mendapatkan seseorang yang kamu cintai. Meskipun sebenarnya dia merasa sakit karena perhatianmu untuknya akan lebih banyak terbagi untuk seseorang yang kamu cintai dibandingkan untuk sahabatmu sendiri.


“ Sadari mulai sekarang… Siapakah sahabat terbaik untukmu???”

Juni 24, 2008

ADAKAH SAHABAT???

Sahabat…

Bagiku hanyalah satu kata sederhana. Satu kata yang tertulis singkat, tapi terangkai dengan sangat manis. Memiliki berjuta arti jika kita mengerti. Dan satu kata sederhana yang tercipta dari hati yang tulus.

Sahabat…

Kata itu yang kutulis dan kujadikan sebuah kenangan indah. Tapi tanpa aku mengetahua apa yang kumaksud dengan kenangan-kenangan itu. Semuanya berjalan begitu saja. Semuanya berlalu tanpa kusadari apa yang kudapatkan dari satu kata itu, “SAHABAT”

Mungkin pemikiranku tentang “SAHABAT” memang terlalu sempit. Kupikir hanya apabila kita selalu bersama maka itulah “SAHABAT”. Tapi sebenarnya tak cukup sebatas itu saja. Ada kalanya kita harus berjalan sendiri. Ada kalanya kita harus melangkah tanpa kehadiran seorang yang kita sebut sebagai “SAHABAT”. Asalkan kita bisa memposisikan diri dan mau mengerti, kapan saatnya kita sebagai sahabat harus ada dan kapan saatnya kita sebagai sahabat lebih baik menarik diri tanpa meninggalkan arti sebenarnya sebuah persahabatan itu sendiri.

Satu pelajaran yang kudapatkan dari sebuah persahabatan.

Ketika aku merasa sendirian, ketika aku merasa tak berarti lagi di dunia ini, dan ketika aku merasa tak ada seorangpun yang akan hadir menemaniku, timbul satu pertanyaan,

“Apakah sahabat itu benar-benar ada? Dimana dia sekarang?”

Satu pertanyaan yang ternyata adalah pertanyaan yang bodoh. Saat itu aku sadar, bahwa sahabat itu memang tak selamanya harus ada untuk kita. Aku sadar bahwa aku harus berusaha untuk bangkit sendiri. Berusaha untuk mengerti sisi lain duniaku sendiri. Dan mencoba untuk memahami sesuatu, “aku punya duniaku, dia punya dunianya. Ada saatnya kita bersama, dan ada saatnya kita memperoleh kesempatan untuk merajai dunia kita sendiri.”

Asal bisa membuat suatu pemikiran, bahwa sahabat itu bukan sekedar kebersamaan, bukan sekedar kenangan yang tercipta bersama, tetapi juga do’a yang menemani kita untuk melangkah.

“SAHABAT”

Sebisa mungkin aku ada untukmu.

Sebisa mungkin akan kuruntuhkan egoku

Tetap melangkah bersamamu meski tanpa kehadiranku.